Puisi menelan ludah
sajak-sajak dikeruk jadi bara lalu dibakar diperapian nama
dibaca di kumparan abu-debu dan arah.
puisi sejak dulu kala ditelan pagi, siang dan malam
di endus halus dari memori ingatan masa lampau yang kelam.
pena merangkul warna
kertas merujuk purnama
anggur berdenting menampik luka
lalu mulai terdengar obrolan girang, obrolan berat dan obrolan muram
ya, teman terbaik dari mimpi-mimpi malam.
sajak-sajak dibiarkan berkelana
merasuk hati pada mati yang sebening kaca
cerita cuman sebaris derit kata “tunggu”
Lalu nasib masih saja diaduk air mata Sajak dibiarkan menelan botol-botol sisa.
putih-putih dari kertas adalah perawan malam. Lupakan senja
pada kala itu suara trotoar menendang muka
tapi tetap saja sajak-sajak ialah langkah.
hamparan garis bujur dan lintang tak bisa dinama
mana yang renggang dan bersikutan.
Tapi tetap saja kita terlilit hubungan kata yang tak bisa di bungkam.